Tinjauan Buku Minhaj
Karya Hamid Fahmy Zarkasyi
Cetakan pertama 2020
Penerbit INSIST (Insitute for the Study of Islamic Thought and Civilizations), Jakarta
Buku ini adalah gambaran sederhana tentang bagaimana seharusnya berislam. Bagi yang selama ini memahami bahwa Islam itu adalah syari’ah, akan diajak menelaah Islam pada tingkat yang di atasnya yaitu berislam pada tingkat aqidah (iman). Jika telah faham tingkat kedua, ia akan diajak memahami tingkat selanjutnya yaitu berislam pada tingkat ihsan yaitu berislam dengan penuh kesadaran dalam berperilaku baik (akhlaq). Jika telah mengerti semua, maka pembaca akan dibawa pada tingkat berislam dengan fikiran.
Dengan demikian, keseluruhan buku ini diharapkan dapat memberikan gambaran tentang Islam secara utuh. Setelah itu, ketika misalnya seseorang menjalankan salah satu rukun Islam seperti shalat, puasa, atau zakat, ia segera mengerti bahwa ia sedang dalam perjalanan menuju tingkat iman dan ihsan.
Buku ini terdiri dari 5 bagian. Bagian pertama menjelaskan mengenai makna Islam. Bagian kedua, menjelaskan mengenai Berislam dengan ritual. Bagian ketiga menjelaskan mengenai berislam pada tingkat Iman. Bagian keempat menjelaskan menenai berislam tingkat ihsan. Dan pada bagian kelima menjelaskan mengenai berislam pada tingkat intelektual. Ada juga lampiran mengenai tanya jawab seputar pemikiran Islam.
Pendahuluan buku ini dengan menceritakan mengenai empat kisah menarik dalam perjalanan keberagaman umat Islam yang terjadi di empat tempat berbeda dan pada waktu yang berbeda pula, tapi bermuara pada suatu masalah yang sama.
Kisah pertama terjadi pada syeikh Muhammad Abduh pada tahun 1884 yang berkunjung ke Kota Paris, Perancis. Kesimpulan Muhammad Abduh atas kunjungannya tersebut adalah “Aku melihat Islam di Paris, tapi aku tidak melihat Muslim, dan aku melihat Muslim di Arab tapi tak melihat Islam”.
Kisah kedua terjadi sekitar setengah abad kemudian, sekitar tahun 1940. Seorang penulis bernama Amis Syakib Arsalan yang menerima surat penting dari Syaikh Muhammad Basuni Imran, seorang ulama dari Sambas Pontianak yang berupa pertanyaan. Pertanyaan pertama adalah mengapa kaum Muslimin mengalami kelemahan dan kemunduran yang merata di seluruh dunia, baik dalam urusan agama maupun dunia. Pertanyaan kedua, apakah yang menyebabkan kemajuan bangsa Eropa, Amerika dan Jepang?Apakah dimungkinkan bagi kaum Muslimin, untuk juga maju dan pada saat yang sama tetap teguh memegang agama mereka?Kesimpulan buku Amir Syakib Arsalan sebagai jawaban atas pertanyaan itu adalah bahwa kaum Muslimin mundur karena mereka meninggalkan Islam. Sedangkan bangsa Eropa Barat menjadi “maju” karena mereka meninggalkan agama mereka, yaitu agama Nasrani atau Kristen.
Kisah ketiga datang dari Syeikh Mutawalli as-Sya’rawi ketika ia mengunjungi San Fransisco Amerika dan ia ditanya oleh seorang orientalis. Kemudian timbullah tanya-jawab antara Syeikh Mutawalli dan orientalis tersebut. Dari tanya jawab tersebut, Syeikh as-Sya’rawi lalu menyimpulkan, bahwa Muslim yang berkualitas Mukmin itulah yang tidak akan dikuasai oleh orang-orang kafir. Terkait ini, cermati lagi firman Allah dalam QS An-Nisa (4) ayat 14. Diperkuat oleh firman Allah dalam Surat Ali-Imran (3) ayat 179 “Allah sekali-kali tidak akan membiarkan orang-orang yang beriman dalam keadaan kamu sekarang ini, sehingga Dia menyisihkan yang buruk (munafik) dari yang baik (Mukmin)”. Kemudian, ditegaskan lagi dalam Surah Al-Anfal (8) ayat 19 “Dan sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang beriman”. Tapi, yang menjadi masalah, “…kebanyakan mereka tidak beriman” (QS asy-Syu’ara (26) ayat 8). Disini ditemukan lagi masalah umat Islam yang sama yaitu problem Islam dan Iman.
Kisah keempat, adalah kisah penulis saat berkunjung ke Melbourne Australia pada tahun 2012. Penulis bertemu dengan Nuim Khayyat, seorang penyiar radio Australia yang terkenal pada tahun 1980-an. Beliau bertanya kepada penulis “Bulan puasa tahun lalu saya pulang ke Indonesia dan saya menyaksikan semarak gempita Muslim dalam menyambut datangnya bulan Ramadhan yang luar biasa. Ibadah tarawih, ceramah, pengajian, dll baik di masjid-masjid, media elektronik dan di jalan-jalan. Jemaah umrah semakin hari semakin bertambah. Tapi mengapa korupsi dan tindak kriminal juga masih marak di kalangan umat Islam?”
Empat kisah tersebut adalah peristiwa atau pertanyaan peradaban, sebab selain pertanyaan yang selalu diulang-ulang pada setiap abad, juga merupakan fenomena kehidupan umat Islam di berbagai Negara Islam yang menjadi isu keumatan dan tidak pernah habis dibahas.
Worldview Islam yaitu suatu cara pandang terhadap realitas dan kebenaran yang diproyeksikan oleh Al-Qur’an yang basisnya adalah ilmu, iman dan amal. Kegagalan memahami Worldview Islam adalah kegagalan dalam memahami bangunan konsep Islam.
Untuk itu penulis menulis buku ini dengan judul Minhaj dimana pada Surah Al-Ma’idah (5) ayat 8, Minhaj adalah jalan yang terang. Maksud definitifnya adalah sebuah jalan yang terang lagi mudah, yang telah ditempuh oleh para sahabat Rasulullah SAW, pengikutnya, dan pengikut dari pengikutnya dalam memahami Din al-Islam. Jalan yang mudah difahami dan terang itu adalah berislam secara kaffah dimulai dari menjalankan syari’ah, mengimani aqidah, mengamalkannya serta merealisasikannya dalam bentuk akhlaq. Tapi dalam konteks perang pemikiran dewasa ini, Minhaj bisa juga diperluas pemahamannya dengan suatu cara pandang atau Manhaj al-Fikr atau yang kini disebut worldview.
Konsep Tuhan dalam satu agama berbeda dengan agama lain, maka konsep hari akhir dan amal sholeh juga tidak sama. Konsep jannah (surga) dalam Islam tidak sama dengan konsep heaven orang Kristen, atau konsep eden orang Yahudi, Swarga-nya orang Hindu, atau Nirwana-nya orang Buddha. Dalam pandangan Islam, Allah itu hanya menurunkan satu agama saja yaitu Islam.
Dalam pembahasan mengenai makna Islam ada cerita mengenai Hendrawan Nadesul (Gouw Han Goan) seorang non-muslim yang merupakan seorang dokter dan penulis, yang mencoba membuat perbandingan yang menarik. Menurutnya, yoga orang Islam adalah shalat, meditasinya adalah zikir, self-healingnya adalah muhasabah, detoxnya adalah rajin berpuasa, cara buang sialnya adalah sedekah, vitaminnya adalah sikap mudah memaafkan, obat awet mudanya adalah tidak mencampuri urusan orang yang tidak perlu, nutrisi terbaiknya adalah berbaik sangka (husnuzan), pembersih hatinya adalah menahan ghibah, penyuci jiwanya adalah menjauhi sifat iri dengki, pengawet pahalanya adalah tidak riya, pendeteksi keikhlasannya adalah dengan tidak menyebut kebajikannya. Namun, apa yang ditemukan manusia tentang hukum kejiwaan manusia tidaklah sama dengan ayat-ayat nafsiyyah (ayat-ayat tentang jiwa manusia) yang diajarkan Islam. Persamaan-persamaan dari dr. Hendrawan hanyalah dipermukaan saja. Sebab, shalat tidak sama dengan yoga, meditasi tidak sama dengan zikir, detox tidak sama dengan puasa, dan seterusnya.
Sekarang mari kita fahami makna Islam dan Iman menurut penjelasan Nabi SAW. Arti Islam, Iman dan kemudian Ihsan adalah seperti yang terdapat dalam dialog Antara Nabi Muhammad SAW dan jibril yang singkatnya adalah sebagai berikut :
“…Islam adalah “Engkau bersaksi bahwa tidak ada Ilah (Tuhan yang disembah) selain Allah dan bahwa Nabi Muhammad adalah utusan Allah, engkau mendirikan shalat, menunaikan zakat, puasa Ramadhan, dan pergi haji jika mampu”. Iman adalah “Engkau beriman kepada Allah, Malaikat-malaikat-Nya, Kitab-kitab-Nya, Rasul-Rasul-Nya dan Hari Akhir, dan engkau beriman kepada takdir yang baik maupun yang buruk”. Ihsan adalah “Engkau beribadah kepada Allah seakan-akan engkau melihatnya, dan jika engkau tidak melihatnya maka Dia melihat engkau”.
Kemudian penjabaran definisi taqwa. Kesimpulannya adalah bahwa orang yang bertaqwa adalah yang memiliki rasa keimanan yang kokoh, tanpa keraguan sedikitpun sehingga membawa ketaatan penuh ikhlas dalam menjalankan perintah dan menghindari larangan-Nya, yang memiliki rasa takut untuk berbuat sesuatu yang dibenci oleh Allah sang Maha Pencipta dan istiqamah dalam beramal shaleh, mempunyai komitmen untuk taat kepada Allah dalam segala macam perbuatan. Tidak membeda-bedakan antara amal yang berpahala besar ataupun kecil. Tidak saja hanya menghindari perbuatan dosa, tapi juga perbuatan halal yang berpotensi dosa.
Kualitas orang bertaqwa ada tiga, yaitu jika “Orang-orang tidak mendapatkan cela pada lidahmu, para Malaikat tidak mendapatkan cela pada perbuatanmu dan Allah tidak melihat cela dalam kesendirianmu (Ibrahim bin Adham).
Mencintai Allah adalah selalu mengingat-Nya (zikir), selalu berhubungan dengan-Nya (ibadah), melakukan amal perbuatan yang disukai Allah (birr, amal shaleh, khayr, ma’ruf) dan tidak melakukan perbuatan yang dibenci (zuhd, wara’).
Dalam pembahasan mengenai manusia dan keluarga, ditulis bahwa kepemimpinan diberikan kepada laki-laki karena tanggungjawab yang dibebankan ke pundak laki-laki atau suami untuk memberikan nafkah kepada istri keluarganya. Disini kepemimpinan laki-laki tidak ditentukan oleh seberapa besar penghasilannya sebagai suami, akan tetapi karena ketetapan syariah yang mewajibkan laki-laki memberikan nafkah kepada wanita, istrinya. Jika kepemimpinan laki-laki disebabkan oleh penghasilan, maka seorang istri bisa menjadi pemimpin laki-laki jika penghasilannya lebih besar dari suaminya. Tapi ini tidak adil, karena laki-laki tetap berkewajiban melamar wanita dan membayar mahar, memberi nafkah istri dan keluarganya. Meskipun laki-laki tidak mampu memberi nafkah tapi kewajiban memberi nafkah itu tidak gugur. Itu sebabnya mengapa Al-Qur’an menegaskan bahwa “Para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan diatas istrinya..” (Al-Baqarah (2) ayat 228).
Pengetahuan (sya’riah), keimanan (aqidah) dan perbuatan (akhlaq) dalam Islam itu berpuncak pada cara pandang yang benar atau dalam pengertian umum disebut worldview. Jalan berislam melalui pengetahuan, keimanan, perbuatan dan pikiran yang berupa pandangan Muslim terhadap segala sesuatu itulah yang disebut Minhaj.
Jakarta, 10 Oktober 2020
0 comments